Kamis, 22 Juli 2010

Ketika Kesendirian adalah Teman


Kubuka kamus bahasa Jepang yang kubeli kelas satu SMA dulu. Secara acak aku buka lembaran itu, sangat acak, seakan tidak peduli ada kata apa saja yang aku lewatkan. Mungkin jika orang melihatku mencari-cari kata dengan tidak jelas ini, aku yakin mereka mengira aku seperti orang kesetanan. Tapi pada sebuah buku kamus yang tidak bersalah.

“srek..srek..srek”, suara kamus itu kubuka dengan kasar

Kubolak-balik tanpa ada arah, apa aku tidak merasa aneh ? Ah, biasa saja, aku tidak peduli. Dan aku terus melanjutkan kesetanan ini dan semakain larut di dalamnya. Buat apa aku buka kamus ini juga tujuan yang sudah aku lupakan, seakan semua ini hanya sebuah spontanitas. Aku berhenti sejenak, lalu aku lihat keadaan sekitarku. Semua masih sibuk pada urusan masing-masing, seorang penjual permen harum manis sangat sibuk memutar-mutar batang kayu untuk tempat kapas yang bisa dimakan itu. Di sebelah kiriku, sebenarnya berjarak dua bangku duduk seorang pria paruh baya tapi dengan ketajaman mataku aku masih bisa melihat apa yang dia pegang. Buku yang pernah aku lihat di toko buku depan stasiun, “Bagaimana Menjadi Seorang Manajer dan Ayah yang Baik”, judul yang kurang aku mengerti hingga sekarang.

Sejenak pikiranku berjalan tanpa arah, menuju sebuah pintu masa lalu. Aku ingat pertama kali aku beli kamus itu, di toko buku murah dekat SMA. Di daerah itu buku merupakan komoditas utama, bayangkan saja apabila sejauh mata memandang yang ada hanya tumpukan perkamen-perkamen dan tentunya dengan penjualnya.

Saat itu aku berjalan di lorong-lorong toko buku, yang sepertinya kalau dilihat dindingnya juga buku. Kakiku tidak perlu diarahkan, pasti langsung menuju ke toko langgananku. Tapi betapa jahatnya aku sekarang, lupa aku dengan nama toko itu. Setidaknya aku mungkin ingat nama penjualnya, tapi ternyata tidak juga, maksudnya aku juga lupa. Tapi kalau masalah wajah dan penampilan aku tentu ingat. Bapak itu mungkin umurnya kepala empat, matanya tajam mungkin karena sering membaca buku di tokonya sendiri, dan selalu memakai baju batik.

“siang pak, ada kamus bahasa Jepang pak ?” tanyaku membuka pembicaraan

“ada banyak, lha kamu mau yang mana dek ?” bapak itu balik Tanya dengan logat jawa

Mataku berputar-putar menjelajahi tumpukan buku itu, dan sebuah buku berwarna kuning dengan sampul bergambar kereta shinkansen, bunga sakura, petarung kendo, juga huruf hiragana. Aku minta tolong untuk diambilkan buku itu. Bapak itu berdiri di kursi dari kayu dan mengambilnya, khusus untukku. Buku itu lumayan lebar untuk ukuran sebuah kamus, dan aku baca pelan-pelan huruf hiragana tadi.

ni-hon-go, nihongo” aku eja perlahan dan artinya bahasa Jepang

“buat opo sih le ?” kali ini bahasa Jawa dicampur bahasa Indonesia

“ada pelajaran bahasa Jepang di SMA pak, susah kalau gak pake kamus”

“repot sekolah jaman saiki, bahasa penjajah ya dipelajari, aku mbiyen ya cuma bahasa
Indonesia sama boso Jowo”

Aku tersenyum pelit, iya juga ya kalau Jepang dulu ada tugas menjajah Indonesia. Tapi bukan berarti kita dendam dan sama sekali tidak mau belajar mengenai negeri itu. Mungkin ayah dari bapak penjual itu adalah pejuang yang dulu hidup saat Indonesia menjadi bulan-bulanan romusha Jepang.

Pikiranku kembali berjalan ke masa sekarang, di mana aku sedang duduk di peron menunggu sesuatu yang tak kunjung hadir di depanku. Sepertinya masa hidup di kotaku dulu sangat menyenangkan. Toko buku tempat aku beli kamus yang sekarang aku genggam dengan tidak erat ini adalah tempat aku pulang sebelum aku pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Baru aku ingat, biasanya aku juga beli es krim rasa stroberi di sekitar toko itu. Es krim yang dijual di box mobil van, murah, enak, dingin, sesuai dengan suasana sore ditambah lalu lalang pembeli buku. Rasanya tempo hidup melambat dan santai saat itu. Tanpa sadar pikiranku kembali ke masa lalu, dan sekarang bersiap kembali ke masa yang sebenarnya lagi.

Di stasiun ini, semua berjalan dengan cepat, orang yang lalu lalang karena sibuk, pekerja yang menyapu lantai, kereta-kereta tujuan lain, bahkan aku melihat pengemis minta-minta dengan cepat. Apabila tempo musik, ini mungkin adagio. Cepat, tanpa jeda, susah bernapas.

Aku lanjutkan membuka kamus itu, tapi tidak sebrutal tadi. Mungkin dengan pikiranku yang berjalan ke masa lalu telah membuat kecepatan aku membuka kamus turun drastis. Aku tarik napas panjang aku buka pelan-pelan kamus di tanganku. Kulihat di bagian atas, sepertinya tanpa sadar aku membuka bagian dimana kata dengan huruf depan “H” berkumpul, aku terus membuka markas untuk huruf ini. Sampai aku di suatu halaman, halaman genap, tapi aku curiga. Sepertinya gerombolan kata dengan huruf depan ini bersekongkol, mengintimidasiku, tapi bukan menjadi diktator bagiku. Hebat juga persekutuan ini pikirku, apa huruf depan ini bisa membaca perasaanku. Aku eja perlahan kata itu, yang tentu dalam huruf romaji. Perlahan aku eja hi-to-ri, kata itu hitori.



(hanya sebuah penggalan dari suara jiwa di rantau)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar